1. PERISTIWA LUAPAN LUMPUR LAPINDO
peristiwa
luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo Surabaya, Jawa Timur pada Tanggal 28 Mei 2006,
sekitar pukul 22.00, karena terjadinya kebocoran gas hidrogen sulfida (H2S) di
areal ladang eksplorasi gas Rig TMMJ # 01, di lokasi Banjar Panji perusahaan
PT. Lapindo Brantas (Lapindo) di Desa Ronokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten
Sidoarjo. Dimana kebocoran gas tersebut berupa semburan asap putih dari rekahan
tanah, membumbung tinggi sekitar 10 meter. Semburan gas tersebut disertai keluarnya
cairan lumpur dan meluber kelahan warga. Semburan lumpur panas di kabupaten
Sidoarjo sampai saat ini belum juga bisa teratasi. Semburan yang akhirnya
membentuk kubangan lumpur panas ini telah memporak-porandakan sumber-sumber
penghidupan warga setempat dan sekitarnya. Kompas edisi Senin (19/6/06),
melaporkan, tak kurang 10 pabrik harus tutup, dimana 90 hektar sawah dan
pemukiman penduduk tak bisa digunakan dan ditempati lagi, begitu pula dengan
tambak-tambak bandeng, belum lagi jalan tol Surabaya-Gempol yang harus ditutup
karena semua tergenang lumpur panas. Berdasarkan data yang didapat WALHI Jawa
Timur, yang mencatat jumlah pengungsi di lokasi Pasar Porong Baru sejumlah 1110
Kepala Keluarga dengan Rincian 4345 jiwa dan 433 Balita, Lokasi Kedung Bendo
jumlah pengungsi sebanyak 241 Kepala Keluarga yang terdiri dari 1111 Jiwa dan
103 Balita, Lokasi Balai Desa Ronokenongo sejumlah 177 Kepala keluarga dengan
rincian 660 jiwa.
- LANDASAN HUKUM
a. Kerangka
dasar yaitu UU Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) bahwa Bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya, yang penguasaannya ditugaskan kepada Negara
Republik Indonesia, harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
b. TAP
MPR IX/MPR/2001 Uraian 116D dan 116 E
c. Peraturan
Pemerintah RI No.51 Tahun 1993 tentang analisis mengenai dampak lingkungan, PP
No. 51 Tahun 1993
d. KEPMEN
LH No. 10 Th 1994 tentang Analisis mengenai dampak lingkungan (KEPMEN LH No. 11
Th 1994, KEPMEN LH No. 12 Th 1994, KEPMEN LH No. 13 Th 1994, KEPMEN LH No. 14
Th 1994, KEPMEN LH No. 15 Th 1994 ) ; KEPMEN LH No. 42 Th 1994, KEPKA BAPEDAL
No. 056 Tahun 1994, KEPMEN LH No. 54 Th 1995, KEPMEN LH No. 55 Th 1995, KEPMEN
LH No. 57 Th 1995, KEPMEN LH No. 39 Th 1996 dan KEPKA BAPEDAL No.
299/BAPEDAL/11/1996 tentang Pedoman Teknis Kajian Aspek Sosial dalam Penyusunan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. LIMBAH B3 (bahan berbahaya dan beracun)
e. PP
No. 19 Th 1995, PP 12 Th 1994 tentang perubahan PP No. 19 Th 1994 ; PENCEMARAN
AIR
f. KEPMEN LH. No. 42/MENLH/101/1996
KEPMEN LH. No. 43/MENLH/101/1996, dan PENCEMARAN UDARA : KEPMEN LH. No.
35/MENLH/101/1993, KEPMEN LH. No. Kep-13/MENLH/3/1995, KEPMEN LH. No.
50/MENLH/11/1996.
g. Dalam
Bab IX, Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
dan telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang
melakukan pencemaran
- PERISTIWA
MENYIMPANG PADA KEJADIAN LUMPUR LAPINDO
a. Adanya unsure kesengajaan berupa
unsure ketidak hati – hatian dalam proses pengeboran
b. Adanya kegiatan yang tidak sesuai
prosedur dan peraturan dalam proses ekspolitasi wilayah tambang
c. Mengakibatkan menghilangnya hak
warga Negara di bidang mendapat pekerjaan, mendapatkan pendidikan dan
mendapatkan pendidikan
- PEMBAHASAN
Dalam
pembahasan ini saya akan menghubungkan antara 3 poin di atas yaitu peristiwa
luapan lumpur lapindo , landasan hukum dan peristiwa menyimpang sehingga saya
dapat menarik benang merah dari ketiga poin tersebut.
a.
Indikasi pelanggaran HAM lingkungan
hidup
Suatu
kejadian yang bedampak bagi orang banyak yang disebabkan oleh bencana alam,
maka semua tanggungan terhadap korban akan di tangguhkan pada pemerintah. Akan
tetapi bila ada unsur kesengajaan berupa tindakan yang tidak hati – hati dan
ceroboh dalam proses pengeboran maka itu merupakan kesalahan dari suatu
lembaga. Nah, unsure kesengajaan berupa ketidak hati –hatian itulah yang
terdapat pada kejadian lumpur lapindo. Kesalahan dalam pengeboran merupakan
kesalahan yang sama dengan kesalahan dalam menjalankan prosedur. Seharusnya
perusahaan tambang dan pengeboran seperti lapindo menjalankan proses pengeboran
sesuai dengan prosedur bukan terkesan spekulasi dan mengharapkan keberuntungan.
Karena efek dari kesalahan pengeboran dan kesalahan penjalanan prosedur itu
akan berdampak luas bagi masyarakat yang tidak bersalah dan tidak tau apa –
apa. Hasil dari spekulasi dan kecerobohan dari pihak lapindo brantas itu
sendiri membuat puluhan hektar tanah terendam lumpur, 16 desa menjadi desa
mati, 10.000 rumah menjadi rumah yang tak berpenghuni, dan alam yang indah
semuanya rusak akibat dari efek lumpur lapindo ini.
b.
Indikasi pelanggaran HAM dalam
sector pengusiran
atau pemindahan penduduk secara paksa
Selain kesalahan dalam bidang
keteknikan di proses pengeboran yang dilakukan oleh lapindo berantas. Ada juga
kesalahan yang berunsur kesengajaan yaitu dalam sector ekploitasi wilayah
tambang. Wilayah tambang atau pengeboran yang dilakukan perusahaan lapindo
berantas tidak sesuai dengan prosedur dan peraturan. Karena, wilayah pengeboran
pihak lapindo berada 5 meter dari wilayah permukiman, 37 meter dari sarana umum
(jalan tol Surabaya - Gempol) dan kurang dari 100 meter dari pipa gas
Pertamina. Padahal menurut Badan Standar Nasional Indonesia No.13-6910-2002
tentang operasi pengeboran darat dan lepas pantai di Indonesia yang antara lain
menyebutkan bahwa sumur-sumur harus dialokasikan sekurang-kurangnya 100 meter
dari jalan umum, rel kereta api, pekerjaan umum, perumahan atau tempat-tempat
lain dimana sumber nyala dapat timbul. Permasalahan perizinan dalam penentuan
wilayah tambang ini pihak yang paling di
rugikan adalah masyarakat sekitar karena mereka mendapatkan efek pemindahan
secara paksa yang di sebabkan oleh meluapnya lumpur lapindo. Masyarakat sekitar
yang rumahnya terkena luapan lumpur lapindo harus rela meninggal rumah
tercintanya karena lumpur lapindo itu sendiri lumpur yang berbahaya terhadap
kesehatannya dan mereka juga tidak jelas di pindahkan kemana oleh pihak lapindo
berantas. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa terdapat unsure pemindahan secara
paksa oleh pihak lapindo berantas.
c.
Indikasi pelanggaran HAM
dalam sector hak mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan lapangan pekerjaan dan
hak kesejahteraan
Hasil kecerobohan dari pihak lapindo
adalah luapan lumpur yang berbahaya. Walaupun lumpur lapindo bukan termasuk
limbah B3 tapi lumpur lapindo mengandung kadminium dan arsen yang tinggi
sehingga lumpur lapindo bisa mengakibatkan Bioakumulasi
dalam jaringan lemak manusia (dan hewan), Kulit merah, iritasi, melepuh, dan kanker kulit, Permasalahan reproduksi Membahayakan
organ tubuh seperti liver, paru-paru, dan kulit. Karena sangat tidak mungkin hidup dan tinggal bersama
lumpur lapindo tersebut maka warga yang rumahnya terkena lumpur lapindo harus
mengungsi dan harus rela khilangan rumah tercintanya. Selain rumah yang harus
di relakan, warga yang masih mengenyam pendidikan pun harus merelakan
pendidikannya karena sekolah mereka terkena lumpur lapindo.
Rumah
warga yang terkena lumpur lapindo seharusnya diganti oleh pihak lapindo. akan
tetapi pada prakteknya penggantian rugi dari pihak lapindo terhadap warga
sebagai korban tidak terpenuhi. Serta warga sebagai korban tidak di beri
kejelasan tentang tenggat waktu penggantian kerugian. Selain itu, warga yang
masih anak – anak pun harus mengenyam pendidikan tidak dapat sekolah karena
lumpur lapindo merusak 18 sekolah yang ada disana. Dan tidak ada tindakan
tanggung jawab dari pihak lapindo terhadap putus sekolah nya generasi penerus
bangsa ini. Selain berpengaruh kepada tempat tinggal dan pendidikan warga,
lumpur lapindo juga telah memutuskan mata pencaharian warga, karena 30 pabrik
setempat yang menjadi sumber pemasukan warga rusak terkena hantaman lapindo.
Dan pihak lapindo dan pemerintah tidak ada yang bertanggung jawab terhadap
hilangnya pekerjaan warga.
Terdapatnya aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan sejalan dengan PP No. 85/1999 mengenai pengelolaan limbah B3, yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas, baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah merugikan masyarakat dalam berbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya. Tak bisa dibayangkan, ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat. Yang sampai sekarang terhadap penegakan hukum atas kasus luapan Lumpur Lapindo tak kunjung ada kejelasannya. Dan terhadap pertanggung jawaban pidana dari pimpinan korporasi (factual leader) dan pemberi perintah (instrumention giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik atau yang nyata, akan tetapi berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu perusahaan. Melihat kepada data-data serta fakta-fakta pelanggaran konspiratif dalam perolehan ijin eksplorasi, pengawasan pemerintah yang tidak serius kepada Lapindo, termasuk pembiaran penggunaan peralatan dan teknologi pemboran yang asal-asalan, prediksi geologis pemboran Sumur BJP-1 yang banyak kelirunya sehingga pelaksanaan pemboran menyimpang dari perencanaan, lalu menimbulkan semburan lumpur yang menghancurkan nasib masyarakat secara meluas yang ditangani dengan cara ketidakadilan, maka peristiwa itu dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM berat, dengan terusirnya kelompok penduduk akibat konspirasi pengelolaan usaha migas Blok Brantas itu. Pelanggaran HAM berat yang dirumuskan pasal 9 huruf d dan e UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM menentukan: “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa : … d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; …” Penegak HAM harus memahami tafsir historis UU No. 26/2000 tersebut yang diadobsi dari Roma Statute of The International Criminal Court (Statuta Roma), yang memuat ketentuan tentang kejahatan kemanusiaan yang sangat serius (the most serious crimes) yang kemudian diterjemahkan menjadi `pelanggaran HAM berat´ oleh UU No. 26/2000. Tetapi pembuat UU No. 26/2000 memotong kalimat pada huruf k pasal 7 ayat (1) Statuta Roma yang menentukan bentuk kejahatan kemanusiaan lain, yaitu : “Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health”.
Sebagimana pengaturan sanksi hukumam terhadap bencana luapan Lumpur panas Lapindo sidoarjo, dapat diancam hukuman sebagai mana yang diatur pelaku dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 mengatur mengenai sangsi berupa sanksi Administrasi diatur oleh Pasal 25 sampai dengan Pasal 27 dan sanksi Pidana diatur oleh Pasal 41 sampai dengan Pasal 48. Dan terhadap sangsi administrasi adalah merupakan sebagai hukuman yang dijatuhkan bagi pelaku pelanggaran terhadap lingkungan hidup, yang berupa pencabutan perizinan usaha/kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan berakibat usaha/kegiatan tersebut berhenti secara total, dengan berkewajiban memulihkan kembali lingkungan hidup yang telah tercemar atau yang telah hancur akiban luapan lumpur panas sidoarjo yang sampai sekarang belum dapat diatasi.
Sedangkan terhadap sanksi pidana adalah merupakan sebagai hukuman yang dilakukan dengan sengaja, kealpaannya, kelalaian atau informasi palsu melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau pengrusakan akibat jebolnya tanggul dapat di ancam pidana penjara sekurang-kurangnya 5 tahun atau sampai seberat-beratnya 15 tahun atau denda sekurang-kurangnya Rp.100.000.000,- atau sampai sebesar Rp. 500.000.000,- sesuai dengan tingkat pelanggaran/kelalaian yang dilakukan oleh pelaku usaha lingkungan hidup dalam hal ini pemerintah terkait. Sesuai dengan kasus luapan lumpur panas lapindo, dimana pada kasus tersebut adalah sebagai akibat tidak terealisasikannya landasan hukum serta social kontrol pengawasan terhadap dampak luapan lumpur lapindo dalam kaitannya terhadap pencemaran terhadap lingkungan hidup, terutama pada instansi terkait yang telah memberi perizinan terhadap pemboran disidoarjo tersebut.
Walaupun sudah jelas pengaturan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang lingkungan hidup yang merupakan sebagai payung hukum untuk melandasi segala kegiatan yang membawa dampak lingkungan hidup, yang sudah pasti akan berdampak negatif terhadap kehidupan manunusia, begitu pula terhadap pengaturan sanksi administrative dan sanksi pidananya.
Terdapatnya aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan sejalan dengan PP No. 85/1999 mengenai pengelolaan limbah B3, yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas, baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah merugikan masyarakat dalam berbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya. Tak bisa dibayangkan, ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat. Yang sampai sekarang terhadap penegakan hukum atas kasus luapan Lumpur Lapindo tak kunjung ada kejelasannya. Dan terhadap pertanggung jawaban pidana dari pimpinan korporasi (factual leader) dan pemberi perintah (instrumention giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik atau yang nyata, akan tetapi berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu perusahaan. Melihat kepada data-data serta fakta-fakta pelanggaran konspiratif dalam perolehan ijin eksplorasi, pengawasan pemerintah yang tidak serius kepada Lapindo, termasuk pembiaran penggunaan peralatan dan teknologi pemboran yang asal-asalan, prediksi geologis pemboran Sumur BJP-1 yang banyak kelirunya sehingga pelaksanaan pemboran menyimpang dari perencanaan, lalu menimbulkan semburan lumpur yang menghancurkan nasib masyarakat secara meluas yang ditangani dengan cara ketidakadilan, maka peristiwa itu dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM berat, dengan terusirnya kelompok penduduk akibat konspirasi pengelolaan usaha migas Blok Brantas itu. Pelanggaran HAM berat yang dirumuskan pasal 9 huruf d dan e UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM menentukan: “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa : … d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; …” Penegak HAM harus memahami tafsir historis UU No. 26/2000 tersebut yang diadobsi dari Roma Statute of The International Criminal Court (Statuta Roma), yang memuat ketentuan tentang kejahatan kemanusiaan yang sangat serius (the most serious crimes) yang kemudian diterjemahkan menjadi `pelanggaran HAM berat´ oleh UU No. 26/2000. Tetapi pembuat UU No. 26/2000 memotong kalimat pada huruf k pasal 7 ayat (1) Statuta Roma yang menentukan bentuk kejahatan kemanusiaan lain, yaitu : “Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health”.
Sebagimana pengaturan sanksi hukumam terhadap bencana luapan Lumpur panas Lapindo sidoarjo, dapat diancam hukuman sebagai mana yang diatur pelaku dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 mengatur mengenai sangsi berupa sanksi Administrasi diatur oleh Pasal 25 sampai dengan Pasal 27 dan sanksi Pidana diatur oleh Pasal 41 sampai dengan Pasal 48. Dan terhadap sangsi administrasi adalah merupakan sebagai hukuman yang dijatuhkan bagi pelaku pelanggaran terhadap lingkungan hidup, yang berupa pencabutan perizinan usaha/kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan berakibat usaha/kegiatan tersebut berhenti secara total, dengan berkewajiban memulihkan kembali lingkungan hidup yang telah tercemar atau yang telah hancur akiban luapan lumpur panas sidoarjo yang sampai sekarang belum dapat diatasi.
Sedangkan terhadap sanksi pidana adalah merupakan sebagai hukuman yang dilakukan dengan sengaja, kealpaannya, kelalaian atau informasi palsu melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau pengrusakan akibat jebolnya tanggul dapat di ancam pidana penjara sekurang-kurangnya 5 tahun atau sampai seberat-beratnya 15 tahun atau denda sekurang-kurangnya Rp.100.000.000,- atau sampai sebesar Rp. 500.000.000,- sesuai dengan tingkat pelanggaran/kelalaian yang dilakukan oleh pelaku usaha lingkungan hidup dalam hal ini pemerintah terkait. Sesuai dengan kasus luapan lumpur panas lapindo, dimana pada kasus tersebut adalah sebagai akibat tidak terealisasikannya landasan hukum serta social kontrol pengawasan terhadap dampak luapan lumpur lapindo dalam kaitannya terhadap pencemaran terhadap lingkungan hidup, terutama pada instansi terkait yang telah memberi perizinan terhadap pemboran disidoarjo tersebut.
Walaupun sudah jelas pengaturan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang lingkungan hidup yang merupakan sebagai payung hukum untuk melandasi segala kegiatan yang membawa dampak lingkungan hidup, yang sudah pasti akan berdampak negatif terhadap kehidupan manunusia, begitu pula terhadap pengaturan sanksi administrative dan sanksi pidananya.
sama-sama, salam kenal
ReplyDelete